MAKNA NIAT DALAM
TUNTUNAN ISLAM
OLEH : MEMET
KURNIA
Dalam
edisi yang lalu disebutkan bahwa Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah adalah
seseorang yang melakukan ibadahnya selaras dengan kebenaran yang di ajarkan
oleh Rasulullah SAW, sebagai pijakan dalam menimbang bahwa seorang muslim masuk
dalam katagori Ahlus-sunnah Wal Jama’ah ataukah hanya sebatas pengakuan yang
bersandar pada taqlid buta dan kebodohannya. Memahami dan menjalankan makna
niat dalam pengertian sebenarnya bisa mengantarkan seorang muslim pada kwalitas
imannya yang diharapkan Islam.
Pengertian Niat
Niat secara bahasa adalah "maksud"
(القصدُ)
Sementara menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ
فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ
شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى
“Maksud mengerjakan sebuah amal ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut hanya
Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas. Ibadah
adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”
Dari pengertian di atas niat identik dengan
ikhlas, sebagimana Imam Al-Mawardi
menguatkan hal itu
الإخلاصُ
في كلامِهم هوالنيّة
Ikhlas dalam pandangan ulama adalah niat.
Rasulullah bersabda :
إنّما
الأعمالُ بالنيّةِ (رواه الأَئمة الستّة)
“Sesungguhnya semua amal-amalan itu
tergantung pada niat.”
Lafadh ( إنّما ) dalam susunan kalimat di atas
menunjukkan pada makna Al-Hashru artinya
pembatasan dengan penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “hanya”,
dalam kaidah disebutkan bahwa Al-Hashru mengandung makna menetapkan
hukum yang disebutkan dan menafikan selainnya.
الأعمالُ adalah bentuk jamak yang diawali dengan alif
lam yang menunjukkan arti istighraq yang mengandung makna seluruh amal.
Sementara yang dimaksud disini adalah semua amal syar’i yang membutuhkan niat.
Jadi setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat.
Mengaplikasikan niat dalam melakukan suatu amal ibadah agar
amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini sangat penting karena makna niat
sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk melakukan suatu amal saja,
melainkan amal tersebut harus bersandar dengan ketentuan yang sudah digariskan
Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي
لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas,
dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”
Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ
المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ لابْتغاءِ
رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan
suatu amal ibadah hanya mencari
Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”
Dari kedua pendapat di atas jelas
bahwasannya untuk dapat diterimanya amal
harus memenuhi persyaratan yang tekandung dalam makna niat tersebut,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa niat itu adalah
satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian bahwa amal harus sesuai dengan
peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu (risalah Islam sebagai hukum
yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju Yang Satu tersebut sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas yaitu yang
disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah hanya untuk
meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut mengikuti dan tunduk pada cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila seorang
muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi tanpa
mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak akan
sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk pada
hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin ‘Iyad dalam menafsirkan ayat 2 surat Al-Mulku
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
“siapa diantara kamu yang lebih baik
amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam
Fudlail bin ‘Iyad mengatakan :
إنّ
العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا
ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على
الكتابِ والسُنَّةِ
“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan
ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun
tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus
ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang
benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”
Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar tentang
niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun
kecil, melainkan dibentangkan kepadanya
dua catatan, yaitu mengapa dan bagaimana?
yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan?
Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah Wal
Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang lain
kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan
ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil dari
buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.
Sebagai seorang muslim yang rendah hati
mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah yang
dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar pada
taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu
hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).
Di zaman sekarang ini kalau semua muslim
jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka melaksanakan
ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang sebenarnya,
hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul disampaikan mereka seolah
menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa dimaklumi mungkin karena mereka
belum mengetahui Islam yang sebenarnya.
Sebagai suatu bukti untuk perenungan,
pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa apa yang
dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala diajukan
pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahu, inilah
potret kaum muslimin di akhir zaman.
Daftar Pustaka:
Tafsir Al-Baghawi - Fathul Bari -Mawarid Al-Imam
Al-Muntaqa Min Ighasat Al-Lahfan - Madarij As-salikin -Al-Fatawa Al-Kubra -
Al-Fiqh Al-Islami
http://abikumala.blogspot.com