Showing posts with label agama. Show all posts
Showing posts with label agama. Show all posts
AWAL TIMBULNYA  PENGUCAPAN  NIAT  DALAM  SHALAT

AWAL TIMBULNYA PENGUCAPAN NIAT DALAM SHALAT

OLEH : MEMET KURNIA 

Dalam edisi yang lalu telah di kupas sekilas tentang perbedaan pendapat  pengucapan  niat dalam shalat, dimana perbedaan tersebut tidak dapat di kategorikan dalam khilafiyah karena pendapat yang menyatakan bahwa niat wajib disertai pengucapan atau dihukumi sunah, keduanya tidak bersandar pada ajaran Rasulullah saw, karena tidak ada perintah wajib atau sunah yang datang dari Rasulullah saw tentang pengucapan niat tersebut.

Adanya pengucapan niat hanya dilakukan sebagian pengikut madzhab Syafi’I, sementara tidak ditemukan di madzhab-madzhab  lain. Awal mulanya timbul adanya pengucapan niat berawal dari pendapat  Imam Abu Abdillah Az-Zubairi yang menyatakan bahwa pengucapan niat hukumnya wajib, sementara yang menjadi dasar pendapatnya adalah fatwa Imam Syafi’I dalam bab haji, sebagaimana yang di kemukakan  Imam Al-Mawardi dalam  kitab    Al-Hawi Al-Kabir hal. 204 Jilid 2

قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ - مِنْ أَصْحَابِنَا - : لَا يُجْزِئُهُ حَتَّى يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ تَعَلُّقًا بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي كِتَابِ " الْمَنَاسِكِ " : وَلَا يَلْزَمُهُ إِذَا أَحْرَمَ بِقَلْبِهِ أَنْ يَذْكُرَهُ بِلِسَانِهِ وَلَيْسَ كَالصَّلَاةِ الَّتِي لَا تَصِحُّ إِلَّا بِالنُّطْقِ فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ


Berkata Abu Abdillah Az-Zubairi tidak cukup niat hingga  harus adanya keterkaitannya  dengan pengucapan lisan, bahwasannya As-Syafi’I berkata dalam kitab Manasik “Tidak wajib seseorang apabila bermaksud melakukan ihram dengan niat hati disertai pengucapan lisan, berbeda dengan shalat, tidak sah shalat kecuali dengan pengucapan”. Maka berdasar hal tersebut menunjukkan pada wajib adanya pengucapan dalam niat.

Imam Asy-Syirazi membenarkan perkataan Imam Al-Mawardi di atas yang beliau tulis dalam kitabnya Al-Mudzdzab hal. 70 jilid 1
ومن أصحابنا من قال ينوي بالقلب ويتلفظ باللسان

Dan ada yang berkata dari Ashab kami (pengikut Imam Syafi’I)  berniat dengan hati dan disertai pengucapan lisan."


Imam Nawawi  menjelaskan perkataan Imam Asy-Syirazi di atas yang dituangkannya dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab hal. 232 jilid 3, beliau merujuk pula pada Imam Al-Mawardi

وقال صاحب الحاوي : هو قول أبي عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان ، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق

Dan pengarang kitab Al-Hawi (Imam Al-Mawardi)  mengatakan bahwa yang berkata tentang pengucapan niat adalah Abu Abdillah Az-Zubairi menurutnya  tidak cukup niat hingga berkumpul antara niat hati dan pengucapan lisan karena Asy-Syafi’I ra mengatakan dalam bab haji : Apabila seseorang berniat untuk haji atau umrah cukup hanya dengan niat hati saja meskipun tidak dengan pengucapan, berbeda halnya dengan shalat, tidak sah shalat kecuali dengan pengucapan.

Sekarang jelas bahwasannya awal pengucapan niat datang dari pendapat Imam Abu Abdillah Az-Zubairi yang merasa tidak cukup niat hanya dengan hati harus disertai dengan pengucapan lisan, sementara dasar beliau hanya bersandar pada fatwa Imam Syafi’I yang dinyatakan oleh mayoritas Ulama madzhab Syafi’I sendiri bahwa pemahaman dari fatwa imam Syafi’I tersebut sebenarnya bukan pengucapan niat shalat tetapi pengucapan takbiratul ihram, dengan demikian pendapat Abu Abdillah Az-Zubairi tenteng pengucapan niat menurut jumhur ualama Syafi’iyah  adalah salah.
Sebagaimana di sampaikan sebagian Ulama Syafi’I  yang menyatakan bahwa pengucapan niat dalam shalat tidak ada dalam ajaran Rasulullah saw.

Imam Al-Mawardi
وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْقِ بِالتَّكْبِيرِ

Dan bahwasannya pemahaman tentang pengucapan niat adalah fasid (salah), adapun yang dimaksud (fatwa Imam Syafi’i) dengan pengucapan adalah pengucapan takbiratul ihram.


Imam As-Syirazi
ينوي بالقلب ويتلفظ باللسان وليس بشيء لأن النية هي القصد بالقلب
.

Berniat dengan hati disertai dengan pengucapan lisan, hal itu bukanlah apa-apa (tidak perlu untuk diikuti) karena sesungguhnya niat adalah bermaksud dengan hati.
Imam An-Nawawi
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير

Sebagian ashab kami (pengikut Imam Syafi’i) menyatakan bahwa yang mengatakan niat harus disertai pengucapan niat adalah salah, sementara yang di maksud Imam Syafi’I dengan pengucapan disini bukan pengucapan niat melainkan yang dimaksud adalah pengucapan takbiratul ihram.

Selajutnya Ulama madzhab Syafi’I lainnya yang menyatakan perlunya menyertakan pengucapan dalam niat shalat adalah  Syaikh Salim bin Samir Al-Hadlrami dan Syaikh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi, pendapat meraka tertuang dalam kitab Safinah  hal. 19

و محلها القلب والتفظ بها سنة
Dan tempatnya niat adalah hati dan pengucapan niat hukumnya sunah

Sementara alasannya hanya  dengan penjelasan bahwa
ليعاون اللسان القلب
Pengucapan niat dengan lisan untuk membantu kemantapan  hati

Ulama lain seperti murid Imam besar Ibnu Hajar Haitami yakni Imam Zainuddn bin Abdul Aziz berpendapat tentang pengucapan niat sebagaimana yang tertulis dalam kitabnya Fathul Mu’in  hal. 16.

وسن نطق بمنوي قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من او جبه
Sunah mengucapkan niat sebelum takbir agar dengan pengucapan ini hati mudah konsentrasi dan juga untuk menghilangkan perbedaan dengan yang mewajibkannya.

Dengan demikian menurut ketiga Imam di atas bahwa hukumnya pengucapan niat adalah sunah, namun dalam pendapat mereka tidak tertulis rujukan sebagai landasannya baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, mereka hanya bersandar pada alasan akal saja yang mengaanggap bahwa dengan pengucapan bisa mengantarkan hati mudah mencapai konsentrasi. 

Pelabelan hukum dalam urusan agama terhadap sesuatu apakah wajib, sunah ataupun yang lainnya mesti bersandar pada Al-Qur’an atau As-Sunnah sebagai dasar hukum dalam agama Islam,
Dengan demikian pendapat di atas  tidak bisa menjadi sandaran hukum dalam melaksanakan pengucapan niat dalam shalat. Baik yang menghukumi wajib atau pun sunah.

Satu hal yang perlu difahami bahwa seorang muslim dalam mengikuti hukum dalam ibadah seyogyanya merujuk pendapat hukum yang bersandar pada Al-Qur’an atau pun As-sunah, karena seluruh peraturan dalam agama telah di atur lengkap dalam ke dua dasar hukum agama tersebut, jadi tidak perlu sikap menganggap baik sesuatu yang tidak di ajarkan oleh Rasulullah saw, perbuatan tersebut bisa masuk dalam mengada-ada dalam syariat, jelas apabila seorang muslim melakukan hal tersebut termasuk dalam perbuatan bid’ah.

Imam Malik ra mengecam keras bagi muslim yang berlaku seperti itu.
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً في الإسْـلامِ يَـراها حَسنةً فقَدْ زَعَمَ أنَّ مُحمّداً صلى الله عليه وسلم خانَ الرِسالةَ، لأنّ الله يقولُ: ﴿اليومَ أكْملتُ لكم دِيْنَكُم
Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah (yang tidak ada contoh dari Rasulullah dalam urusan agama) dan memandang baik perbuatan tersebut maka sesungguhnya orang tersebut telah menuduh Rasulullah saw telah menghianati risalahnya,karena sesungguhnya Allah swt telah berfirman “Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian”

Abu Umar Az-Zujaji sahabat Imam Fudlail berkata :

كانَ الناسُ في الجاهِليّةِ يَتَّبِعُونَ ماتَسْتَحْسِنُه عُقُولُهم وطَبائِعُهم، فجاءَ النبيّ صلى الله عليه و سلم , فرَدَّهم إلى الشريعةِ والاتِّباعِ. فالعَقْلُ الصَحِيحُ الذي يَسْتَحْسِنُ مايَسْتَحْسِنُه الشَرْعُ، ويَسْتقْبِحُ مايَسْتَقْبِحُه

"Keadaan manusia pada masa jahiliah mereka mengikuti apa yang dipandang baik oleh akalnya, setelah datangnya Nabi Muhammad saw, beliau mengembalikannya kepada Syariat dan ketaatan. Adapun akal yang benar adalah yang memandang baik apa yang dipandang baik oleh Syari’at dan memandang jelek apa yang dipandang jelek oleh Syariat."

Imam Fudlail Mengingatkan :
اتّبِعْ طُرُقَ الهُدَى ولا يَضُرُّك قِلّةُ السّالِكينَ، وإيّاكَ وطُرُقَ الضَلالةِ ولا تَغْترّ بكَثرَةِ الهالِكينَ

"Ikutilah jalan petunjuk dan tidak akan memadlaratkan mu meskipun sedikit orang yang menempuhnya, hati-hatilah dengan jalan yang sesat dan janganlah engkau terpedaya karena banyak orang yang berkecimpung"

Banyak fatwa Ulama yang mengajarkan tentang keharusan mengikuti syari’at yang di ajarkan oleh Rasulullah saw dan larangan menciptakan tatacara ibadah baru yang di anggap baik oleh akal manusia, hal tersebut akan melahirkan muhdatsat yang dipandang bid’ah oleh agama.

Kembali pada masalah pengucapan niat dalam shalat, bagi kalangan muslim yang selama ini memegang pemahaman tersebut, seyogyanya tidak memandang tulisan ini suatu serangan yang mempersalahkan amaliah mereka, tetapi sikap persaudaraan sebagai muslim yang lebih di tonjolkan, Al-Qur’an mengajarkan kepada umat Islam untuk saling menasehati agar masing-masing pribadi muslim bisa saling koreksi dalam kebaikan untuk menemukan kebaikan dalam ibadah, adapun kebaikan dalam ibadah terletak pada ketundukan pribadi muslim terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya.


Daftar Pustaka :
Safinah An-Naja – Fath Al-Mu’in – Al-Muhadzdzab – Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab – Al-Hawi Al-Kabir - Ighatsah Al-Lahfan – Zad Al-Ma’ad - Al-Anwar Ar-Rohmaniah
MAKNA  NIAT  DALAM  TUNTUNAN  ISLAM

MAKNA NIAT DALAM TUNTUNAN ISLAM


MAKNA  NIAT  DALAM  TUNTUNAN  ISLAM
OLEH :  MEMET  KURNIA

 
Dalam  edisi yang lalu disebutkan bahwa Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah adalah seseorang yang melakukan ibadahnya selaras dengan kebenaran yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW, sebagai pijakan dalam menimbang bahwa seorang muslim masuk dalam katagori Ahlus-sunnah Wal Jama’ah ataukah hanya sebatas pengakuan yang bersandar pada taqlid buta dan kebodohannya. Memahami dan menjalankan makna niat dalam pengertian sebenarnya bisa mengantarkan seorang muslim pada kwalitas imannya yang diharapkan Islam.
Pengertian Niat
Niat secara bahasa  adalah "maksud
(القصدُ)
 
Sementara menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى

“Maksud mengerjakan sebuah amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas. Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”

Dari pengertian di atas niat identik dengan ikhlas, sebagimana Imam  Al-Mawardi menguatkan hal itu
الإخلاصُ في كلامِهم هوالنيّة
Ikhlas dalam pandangan ulama adalah niat.

Rasulullah bersabda :
إنّما الأعمالُ بالنيّةِ (رواه الأَئمة الستّة)
“Sesungguhnya semua amal-amalan itu tergantung pada niat.”

Lafadh ( إنّما )  dalam susunan kalimat di atas menunjukkan pada makna  Al-Hashru artinya pembatasan dengan penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “hanya”, dalam kaidah disebutkan bahwa Al-Hashru mengandung makna menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan selainnya.
الأعمالُ   adalah bentuk jamak yang diawali dengan alif lam yang menunjukkan arti istighraq yang mengandung makna seluruh amal. Sementara yang dimaksud disini adalah semua amal syar’i yang membutuhkan niat. Jadi setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat.

Mengaplikasikan  niat dalam melakukan suatu amal ibadah agar amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini sangat penting karena makna niat sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk melakukan suatu amal saja, melainkan amal tersebut harus bersandar dengan ketentuan yang sudah digariskan Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”

Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ    لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan suatu amal ibadah  hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”

Dari kedua pendapat di atas jelas bahwasannya untuk dapat diterimanya amal  harus memenuhi persyaratan yang tekandung dalam makna niat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa niat itu adalah satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian bahwa amal harus sesuai dengan peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu (risalah Islam sebagai hukum yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju Yang Satu tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas yaitu yang disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah hanya untuk meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut mengikuti  dan tunduk pada  cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila seorang muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi tanpa mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak akan sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk pada hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin  ‘Iyad dalam menafsirkan ayat 2 surat Al-Mulku
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ‌

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
“siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam Fudlail bin  ‘Iyad mengatakan :

إنّ العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص  أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ

“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”

Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar tentang niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil, melainkan  dibentangkan kepadanya dua catatan, yaitu  mengapa dan bagaimana? yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan?

Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang lain kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil dari buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.

Sebagai seorang muslim yang rendah hati mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah yang dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar pada taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).

Di zaman sekarang ini kalau semua muslim jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka melaksanakan ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang sebenarnya, hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul disampaikan mereka seolah menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa dimaklumi mungkin karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya.

Sebagai suatu bukti untuk perenungan, pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala diajukan pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahu, inilah potret kaum muslimin di akhir zaman.


Daftar Pustaka:
Tafsir Al-Baghawi - Fathul Bari -Mawarid Al-Imam Al-Muntaqa Min Ighasat Al-Lahfan - Madarij As-salikin -Al-Fatawa Al-Kubra - Al-Fiqh Al-Islami
 http://abikumala.blogspot.com

Kategori

Kategori